Penghapusan
Paradigma Bangsa Barat Tentang Agama Islam Mengenai Adanya Dikriminasi terhadap
Muslimah di Dunia Politik
Oleh: Siti Nurhayati
Di era
globalisasi saat ini, dunia politik tidak asing lagi dikalangan masyarakat. Baik
dari kalangan orang tua, dewasa, remaja,
bahkan anak-anak. Media informasi salah satunya televisi, sering memberitakan
hal-hal yang berbau politik yang seakan-akan tidak kunjung selesai
pemberitaanya. Dunia politik juga tidak luput dari pro dan kontra. Salah satu
kontranya yaitu mengenai wanita yang berkecimpung di dunia politik khususnya
wanita Islam (muslimah). Banyak masyarakat konservatif yang menganggap muslimah
tidak layak memasuki kancah dunia politik karena telah mengabaikan
fungsi fitrahnya sebagai
muslimah yang seharusnya sebagai ibu bagi anak-anak dan sebagai istri bagi
suaminya. Terlebih lagi paradigma dari bangsa
barat termasuk para politisi dan akademisinya yang beranggapan bahwa Islam tidak
kompatibel dengan nilai-nilai hak asasi,
demokrasi dan partisipasi politik perempuan. Kasus yang sering diangkat adalah
adanya perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan dalam sektor publik,
khususnya dalam politik. Inglehart dan Norris (2003), menyatakan bahwa
negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim cenderung tidak egaliter terhadap
perempuan, dan karenanya, menghalangi akses perempuan pada kekuasaan dan
pembuatan keputusan publik.
baca selengkapnya
baca selengkapnya
Sebelum
Indonesia merdeka, sebenarnya sudah banyak politisi muslimah yang sangat
berpengaruh besar akan pembebasan keterbudakan wanita yang dilakukan pada masa
penjajahan kolonial antara lain Cut Nyak Dien, tokoh
pejuang perempuan yang tangguh asal Aceh, Cut Meutia, juga Kartini, yang hingga
kini namanya sering dijadikan simbol gerakan emansipasi perempuan. Tidak hanya
itu, banyak dijumpai perempuan yang sekarang ini aktif berkiprah di ruang
publik (politik). Seperti aktif menjadi politisi, anggota parlemen, menteri,
dan meraih posisi di jabatan publik lainnya. Oleh karena itu, upaya berbagai
kalangan untuk menuntut kuota 30% bagi perempuan dalam politik, menurut Rektor
Universitas Muhammadiyah Jakarta Dr. Hj. Masyithoh, M.Ag (2011) keadaan ini
cukup relevan dengan dinamika masyarakat saat ini. Sehingga dengan keadaan tersebut diharapkan tercipta iklim politik
yang stabil. Menurut Samuel Huntington dan Joan M. Nelson bahwa dengan suasana
politik yang stabil dan aman pembangunan akan mudah dilakukan dalam rangka
mengejar pertumbuhan (Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, 2004). Indonesia juga pernah dipimpin oleh seorang presiden muslimah yaitu Mega
Wati Soekarno Putri (2001-2004), sedangkan Pakistan dengan Benazir Bhuttonya
dan di Banglades Begum Khaleda Zia dan Sheikh Hashina, di Iran Dr. Fatemah Vaiz
Javadi yang merupakan Wakil Presiden Republik Islam Iran dan politisi yang
merangkap Menteri Lingkungan Hidup Iran serta Halimah Yacob dengan jabatan
ketua DPR di Singapura yang 75 persen penduduknya dihuni etnis China. Ini
menunjukkan bukti bahwa sebenarnya tidak ada diskriminasi terhadap muslimah
dalam berpolitik.
Tidak hanya itu, pada zaman
Nabi Muhammad saw misalnya Ummu Hani, yang bertindak untuk memberi jaminan
keamanan kepada sementara orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu
aspek bidang politik) dan tindakan tersebut dibenarkan oleh Nabi Muhammad saw.
Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin langsung
peperangan melawan 'Ali ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala
Negara. Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah
terbunuhnya Khalifah Ketiga, Utsman r.a. Peperangan itu dikenal dalam sejarah
Islam dengan nama Perang Unta (656 M). Ahmad Ziyadah mencoba meneliti dari sumber-sumber historiografi Islam bahwa pada masa Nabi Muhammad para muslimah
terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat politik dan tidak ada larangan
dari agama. Dalam tesis magisternya di Universitas Kairo pada tahun 1998 Daur
al-Mar-ah al-Siyasi fi ‘Ahd al-Nabi wa al-khulafa’ al- Rhashidin, Ahmad Ziyadah
mengemukakan fakta-fakta sejarah keterlibatan perempuan-perempuan dalam berbagi
peristiwa politik, seperti awal penyaiaran Islam, Dar al-Arqam, pembaitan di
Aqabah, hijrah ke Madinah, hingga dalam peperangan.
Ada
pandangan fiqh siyasah yang menyatakan bahwa perempuan itu tidak boleh menjadi pemimpin berdasarkan
pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist yang menghalangi kaum
perempuan menjadi pemimpin. Di antara ayat-ayat itu adalah : ”Al-Rijal qawwamun
‘ala al-Nisa” (Q.s An-Nisa: 34ya) yang artinya kaum laki-laki adalah
pemimpin bagi kaum perempuan” dan “Lan yufliha qawn wallau amrahum
imra-atan” (riwayat al-Bukhari), yang mengandung arti tidak akan menang
kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan”. Pemahaman subjktif dan
kaku terhadap kedua nash tersebut membawa pandangan diskriminatif negatif
terhadap kaum perempuan dalam kehidupan politik. Akan tetapi sekarang sudah
banyak penafsiran terhadap kedua nash tersebut, yaitu bahwa kata qawwam ‘ala
mengandung arti pendukung kaum perempuan. Pada awal abad ke 20 Para ulama Qasim
Amin, Luthfi al-Sayyid, Muhammad Ghazali,dan guru mereka Abduh mengisyaratkan
bahwa tidak ada diskriminasi jenis kelamin bagi peran serta umat Islam, baik
laki-laki maupun perempuan. Dalam wilayah kehidupan publik, seperti sosial,
pendidikan, bahkan politik. Abduh berpandangan bahwa kekuasaan politik adalah
kekuasaan duniawi (al-sultah-al-madaniyah), bukan kekuasaan keagamaan
(al-sultah al-diniyah), maka dapat mudah dipahami bahwa tidak ada halangan sama
sekali bagi kaum perempuan untuk terlibat dalam kehidupan politik dalam posisi
apapun. Islam juga mempunyai
sistem politik dimana pemerintahan demokrasi itu berdasarkan musyawarah (QS Ali Imran : 159) “Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”, dan pada QS Asy-Syura :
38 “Dan urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka” pada surah ini adalah dasar dari banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi
setiap lelaki dan perempuan.
Syura (musyawarah) merupakan salah
satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut Al-Quran,
termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan
bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah. Atas dasar ini,
dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan memiliki hak tersebut,
karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami adanya
larangan keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat, termasuk
dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum
perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan tanpa kecuali. Al-Quran
juga menguraikan permintaan para perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan
bay'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam QS
Al-Mumtahanah ayat 12. Pakar agama Islam menjadikan bay'at para perempuan itu
sebagai bukti kebebasan perempuan untuk menentukan pilihan atau pandangannya
yang berkaitan dengan kehidupan serta hak mereka (berpolitik).
Pada
QS At-Taubah ayat 71 yang artinya “dan kaum beriman laki-laki
dan perempuan ada yang menjadi pemimpin diantara mereka, (mereka sama-sama) mengajak
kepada kebenaran dan mencegah kemungkaran menegakkan shalat dan menunaikan
zakat dan menaati Allah dan rasul-Nya”. Ayat ini menunjukan adanya peluang
yang sama bagi laki-laki dan perempuan
untuk menjadi pemimpin dan tidak ada diskriminasi antar laki-laki dan
perempuan beriman dalam menjalankan tugas-tugas baik keagamaan maupun
masyarakat. Islam menyesuaikan dengan situasi perputaran zaman dan keperluan
masyarakat Islam yang senantiasa berubah dan semakin baru, dan ini menunjukkan adanya
elastisitas sistim pemerintahan dalam Islam dan juga tidak ada diskriminasi
dalam berpolitik.
Dari paparan
diatas sudah sangat jelas bahwa Islam tidak pernah dan tidak akan memasung
perempuan untuk berkiprah di sektor publik, termasuk berpartisipasi di dunia
politik, sepanjang tidak melanggar fitrah dan norma-norma Islam yang sudah
sangat jelas. Sepanjang fitrah perempuan itu tidak terabaikan dan kaum
perempuan bisa menjaga integritasnya sebagai seorang muslimah yang baik. Menurut
Dr. Hj. Masyithoh, M.Ag, bahwa tidak ada halangan bagi perempuan
Islam untuk berpartisipasi dalam dunia politik yang begitu kompleks, keras dan
banyak wilayah abu-abu, asal kaum perempuan tetap menjaga marwah dan izzah-nya
sebagai seorang ibu, istri dan muslimah yang baik.
Dengan
demikian terbukti bahwa paradigma bangsa barat tentang diskriminatif terhadap
muslimah dalam dunia politik harus dihapuskan, karena dari
pernyataan-pernyataan diatas telah terbukti bahwa Islam sama sekali tidak ada diskriminasi terhadap jenis kelamin terutama bagi kaum
perempuan (muslimah).
DAFTAR PUSTAKA
Affan Gaffar. 2004. Politik
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Edwardi. Kompas.com http://bangka.tribunnews.com/2013/01/15/wanita-muslim-pertama-jadi-ketua-dpr-singapura
diakses pada tanggal 27 Februari 2013 judul Wanita Muslim Pertama Jadi Ketua
DPR Singapura
Fadulullah, Mahdi. 1991. Titik Temu Agama dan Politik Analisa Pemikiran
Sayyid Qutub. Solo: CV Ramadhani
Gunawan ,W dan Shofia,
I. 2005. Wacana Fiqh perempuan dalam prespektif Muhammadiyah.
Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Jakarta
Masyithoh. http://lensa.unmuha.ac.id/index.php/artikelopini/108-partisipasi-politik-perempuan-dalam-islam diakses pada tanggal 27 Februari 2013 judul Partisipasi Politik
Perempuan Dalam Islam
Nurudin, Susilo R,
Sulistyaningsih T. 2006. Kebijakan Elitisi Politik Indonesia. Jakarta:
Pustaka Pelajar
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran,
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html
diakses pada tanggal 27 Februari 2013 . Hak-hak Perempuan dalam
Bidang Politik
Syam, Firdaus. 2007. Pemikiran Politik Barat Sejarah, Filsafat,
Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3. Jakarta: PT Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar