SITI NURHAYATI PAI UMY (20120720116) اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُAHLAN WA SAHLAN SOBAT SELAMAT MEMBACA DAN MOHON KOMENTAR,SARAN SERTA KRITIKNYA YA

Sabtu, 03 Januari 2015

My Writing



Penghapusan Paradigma Bangsa Barat Tentang Agama Islam Mengenai Adanya Dikriminasi terhadap Muslimah di Dunia Politik
Oleh: Siti Nurhayati
Di era globalisasi saat ini, dunia politik tidak asing lagi dikalangan masyarakat. Baik dari  kalangan orang tua, dewasa, remaja, bahkan anak-anak. Media informasi salah satunya televisi, sering memberitakan hal-hal yang berbau politik yang seakan-akan tidak kunjung selesai pemberitaanya. Dunia politik juga tidak luput dari pro dan kontra. Salah satu kontranya yaitu mengenai wanita yang berkecimpung di dunia politik khususnya wanita Islam (muslimah). Banyak masyarakat konservatif yang menganggap muslimah tidak layak memasuki kancah dunia politik karena telah mengabaikan fungsi fitrahnya sebagai muslimah yang seharusnya sebagai ibu bagi anak-anak dan sebagai istri bagi suaminya. Terlebih lagi paradigma dari bangsa barat termasuk para politisi dan akademisinya yang beranggapan bahwa Islam tidak kompatibel  dengan nilai-nilai hak asasi, demokrasi dan partisipasi politik perempuan. Kasus yang sering diangkat adalah adanya perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan dalam sektor publik, khususnya dalam politik. Inglehart dan Norris (2003), menyatakan bahwa negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim cenderung tidak egaliter terhadap perempuan, dan karenanya, menghalangi akses perempuan pada kekuasaan dan pembuatan keputusan publik.
baca selengkapnya
Sebelum Indonesia merdeka, sebenarnya sudah banyak politisi muslimah yang sangat berpengaruh besar akan pembebasan keterbudakan wanita yang dilakukan pada masa penjajahan kolonial antara lain Cut Nyak Dien, tokoh pejuang perempuan yang tangguh asal Aceh, Cut Meutia, juga Kartini, yang hingga kini namanya sering dijadikan simbol gerakan emansipasi perempuan. Tidak hanya itu, banyak dijumpai perempuan yang sekarang ini aktif berkiprah di ruang publik (politik). Seperti aktif menjadi politisi, anggota parlemen, menteri, dan meraih posisi di jabatan publik lainnya. Oleh karena itu, upaya berbagai kalangan untuk menuntut kuota 30% bagi perempuan dalam politik, menurut Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Dr. Hj. Masyithoh, M.Ag (2011) keadaan ini cukup relevan dengan dinamika masyarakat saat ini. Sehingga dengan keadaan tersebut diharapkan tercipta iklim politik yang stabil. Menurut Samuel Huntington dan Joan M. Nelson bahwa dengan suasana politik yang stabil dan aman pembangunan akan mudah dilakukan dalam rangka mengejar pertumbuhan (Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, 2004). Indonesia juga pernah dipimpin oleh seorang presiden muslimah yaitu Mega Wati Soekarno Putri (2001-2004), sedangkan Pakistan dengan Benazir Bhuttonya dan di Banglades Begum Khaleda Zia dan Sheikh Hashina, di Iran Dr. Fatemah Vaiz Javadi yang merupakan Wakil Presiden Republik Islam Iran dan politisi yang merangkap Menteri Lingkungan Hidup Iran serta Halimah Yacob dengan jabatan ketua DPR di Singapura yang 75 persen penduduknya dihuni etnis China. Ini menunjukkan bukti bahwa sebenarnya tidak ada diskriminasi terhadap muslimah dalam berpolitik.
    Tidak hanya itu, pada zaman Nabi Muhammad saw misalnya Ummu Hani, yang bertindak untuk memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik) dan tindakan tersebut dibenarkan oleh Nabi Muhammad saw. Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan 'Ali ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara. Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, Utsman r.a. Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656 M).                                                                          Ahmad Ziyadah mencoba meneliti dari sumber-sumber  historiografi Islam  bahwa pada masa Nabi Muhammad para muslimah terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat politik dan tidak ada larangan dari agama. Dalam tesis magisternya di Universitas Kairo pada tahun 1998 Daur al-Mar-ah al-Siyasi fi ‘Ahd al-Nabi wa al-khulafa’ al- Rhashidin, Ahmad Ziyadah mengemukakan fakta-fakta sejarah keterlibatan perempuan-perempuan dalam berbagi peristiwa politik, seperti awal penyaiaran Islam, Dar al-Arqam, pembaitan di Aqabah, hijrah ke Madinah, hingga dalam peperangan.                                                                                        
 Ada pandangan fiqh siyasah yang menyatakan bahwa perempuan itu  tidak boleh menjadi pemimpin berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist yang menghalangi kaum perempuan menjadi pemimpin. Di antara ayat-ayat itu adalah : ”Al-Rijal qawwamun ‘ala al-Nisa” (Q.s An-Nisa: 34ya) yang artinya kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan” dan “Lan yufliha qawn wallau amrahum imra-atan” (riwayat al-Bukhari), yang mengandung arti tidak akan menang kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan”. Pemahaman subjktif dan kaku terhadap kedua nash tersebut membawa pandangan diskriminatif negatif terhadap kaum perempuan dalam kehidupan politik. Akan tetapi sekarang sudah banyak penafsiran terhadap kedua nash tersebut, yaitu bahwa kata qawwam ‘ala mengandung arti pendukung kaum perempuan. Pada awal abad ke 20 Para ulama Qasim Amin, Luthfi al-Sayyid, Muhammad Ghazali,dan guru mereka Abduh mengisyaratkan bahwa tidak ada diskriminasi jenis kelamin bagi peran serta umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam wilayah kehidupan publik, seperti sosial, pendidikan, bahkan politik. Abduh berpandangan bahwa kekuasaan politik adalah kekuasaan duniawi (al-sultah-al-madaniyah), bukan kekuasaan keagamaan (al-sultah al-diniyah), maka dapat mudah dipahami bahwa tidak ada halangan sama sekali bagi kaum perempuan untuk terlibat dalam kehidupan politik dalam posisi apapun. Islam juga mempunyai sistem politik dimana pemerintahan demokrasi itu  berdasarkan musyawarah (QS Ali Imran : 159) “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”, dan pada QS Asy-Syura : 38 “Dan urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka” pada surah ini adalah dasar dari banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.                                                                                                              
 Syura (musyawarah) merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami adanya larangan keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan tanpa kecuali.          Al-Quran juga menguraikan permintaan para perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan bay'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Mumtahanah ayat 12. Pakar agama Islam menjadikan bay'at para perempuan itu sebagai bukti kebebasan perempuan untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan serta hak mereka (berpolitik).                                                                                                                       
 Pada QS At-Taubah ayat 71 yang artinya “dan kaum beriman laki-laki dan perempuan ada yang menjadi pemimpin diantara mereka, (mereka sama-sama) mengajak kepada kebenaran dan mencegah kemungkaran menegakkan shalat dan menunaikan zakat dan menaati Allah dan rasul-Nya”. Ayat ini menunjukan adanya peluang yang sama bagi laki-laki dan perempuan  untuk menjadi pemimpin dan tidak ada diskriminasi antar laki-laki dan perempuan beriman dalam menjalankan tugas-tugas baik keagamaan maupun masyarakat. Islam menyesuaikan dengan situasi perputaran zaman dan keperluan masyarakat Islam yang senantiasa berubah dan semakin baru, dan ini menunjukkan adanya elastisitas sistim pemerintahan dalam Islam dan juga tidak ada diskriminasi dalam berpolitik.                                                                             
 Dari paparan diatas sudah sangat jelas bahwa Islam tidak pernah dan tidak akan memasung perempuan untuk berkiprah di sektor publik, termasuk berpartisipasi di dunia politik, sepanjang tidak melanggar fitrah dan norma-norma Islam yang sudah sangat jelas. Sepanjang fitrah perempuan itu tidak terabaikan dan kaum perempuan bisa menjaga integritasnya sebagai seorang muslimah yang baik. Menurut Dr. Hj. Masyithoh, M.Ag, bahwa tidak ada halangan bagi perempuan Islam untuk berpartisipasi dalam dunia politik yang begitu kompleks, keras dan banyak wilayah abu-abu, asal kaum perempuan tetap menjaga marwah dan izzah-nya sebagai seorang ibu, istri dan muslimah yang baik.                                            
  Dengan demikian terbukti bahwa paradigma bangsa barat tentang diskriminatif terhadap muslimah dalam dunia politik harus dihapuskan, karena dari pernyataan-pernyataan diatas telah terbukti bahwa Islam sama sekali tidak ada diskriminasi terhadap jenis kelamin terutama bagi kaum perempuan (muslimah).


DAFTAR PUSTAKA
Affan Gaffar. 2004. Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Edwardi. Kompas.com http://bangka.tribunnews.com/2013/01/15/wanita-muslim-pertama-jadi-ketua-dpr-singapura diakses pada tanggal 27 Februari 2013 judul Wanita Muslim Pertama Jadi Ketua DPR Singapura

Fadulullah, Mahdi. 1991. Titik Temu Agama dan Politik Analisa Pemikiran Sayyid Qutub. Solo: CV Ramadhani

Gunawan ,W dan Shofia, I. 2005. Wacana Fiqh perempuan dalam prespektif Muhammadiyah. Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Jakarta
Masyithoh. http://lensa.unmuha.ac.id/index.php/artikelopini/108-partisipasi-politik-perempuan-dalam-islam  diakses pada tanggal 27 Februari 2013 judul Partisipasi Politik Perempuan Dalam Islam

Nurudin, Susilo R, Sulistyaningsih T. 2006. Kebijakan Elitisi Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka Pelajar

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran,

              http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html diakses pada tanggal 27 Februari 2013 . Hak-hak Perempuan dalam Bidang Politik


Syam, Firdaus. 2007. Pemikiran Politik Barat Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3. Jakarta: PT Bumi Aksara

                                                                                                                       





Tidak ada komentar:

Posting Komentar